3 Aturan di Jepang yang Masih Berlaku di 2025, Nomor 1 Bikin Perempuan Protes😱❗❗
3 Aturan Jepang yang Bikin Dunia Bertanya: Tradisi atau Beban di 2025?
Jepang sering dijadikan contoh negara ideal: disiplin tinggi, teknologi canggih, masyarakat tertib. Tapi di balik citra itu, ada aturan-aturan yang justru memicu kritik keras—bahkan dari warga Jepang sendiri. Pertanyaannya sederhana tapi mengganggu: apakah semua tradisi pantas dipertahankan, apa pun dampaknya?
Berikut tiga aturan yang sampai hari ini masih menimbulkan perdebatan serius.
1. Satu Nama Keluarga untuk Suami–Istri: Tradisi atau Tekanan Sistemik?
Di Jepang, menikah berarti kehilangan satu pilihan penting: hak untuk mempertahankan nama keluarga masing-masing. Hukum mewajibkan pasangan memilih satu nama keluarga, dan lebih dari 90% kasus berakhir dengan satu hasil yang sama—nama suami.
Secara hukum memang “netral gender”. Namun realitas sosial berkata lain. Bagi banyak perempuan, nama bukan sekadar formalitas, tapi identitas, reputasi, dan jejak profesional yang dibangun bertahun-tahun.
Di 2025, ketika kesetaraan gender jadi jargon global, Jepang masih bertanya-tanya: apakah cinta harus dibuktikan dengan menghapus nama sendiri di dokumen negara? Perdebatan sudah berlangsung puluhan tahun, gugatan hukum sudah diajukan, tapi perubahan nyata masih tertahan oleh politik dan konservatisme.
2. “Ibu Ideal Harus di Rumah”: Tekanan yang Tak Pernah Tertulis, Tapi Sangat Nyata
Tak ada undang-undang yang melarang perempuan bekerja setelah menikah. Tapi di Jepang, aturan paling kuat sering kali bukan yang tertulis—melainkan yang tak pernah diucapkan.
Banyak perempuan berpendidikan tinggi menghadapi pilihan yang nyaris dipaksakan: karier atau keluarga. Budaya kerja panjang, minimnya dukungan pengasuhan, dan ekspektasi sosial membuat “berhenti kerja setelah punya anak” terasa seperti jalan paling aman.
Ironisnya, ini terjadi di negara yang sedang krisis populasi dan kekurangan tenaga kerja. Sampai kapan negara maju bisa mengorbankan potensi separuh penduduknya demi mempertahankan gambaran keluarga ideal versi masa lalu?
3. Nama Bayi Tak Boleh Terlalu Unik: Negara Ikut Campur Sejauh Apa?
Ingin memberi nama anak yang unik dan berbeda? Di Jepang, kreativitas orang tua tetap harus melewati filter negara. Pemerintah membatasi penggunaan kanji tertentu dalam nama bayi, dan nama yang dianggap merugikan anak bisa ditolak pencatat sipil.
Nama ekstrem seperti yang bermakna negatif jelas dilarang. Tapi batas antara “melindungi anak” dan “mengontrol pilihan pribadi” sering kali terasa kabur. Meski cara baca kanji cukup fleksibel, pembatasan ini tetap memicu kritik: sejauh mana negara berhak menentukan identitas seseorang sejak lahir?
Refleksi: Harga yang Harus Dibayar atas Sebuah Tradisi
Tak ada yang menyangkal Jepang sukses menjaga stabilitas sosial dan budaya. Tapi setiap sistem punya biaya tersembunyi. Dalam kasus ini, biaya itu sering dibayar oleh individu—terutama perempuan—dalam bentuk pilihan hidup yang menyempit.
Mungkin perubahan tidak akan datang cepat. Namun satu hal jelas: pertanyaan-pertanyaan ini tidak lagi bisa disapu di bawah label “budaya” semata. Di era global dan transparan, tradisi juga harus siap diuji.
Catatan
-
Hukum satu nama keluarga masih berlaku hingga 2025
-
Suami boleh mengambil nama istri (minoritas kasus)
-
Aturan nama bayi membatasi kanji, bukan sepenuhnya kreativitas
-
Tekanan ibu rumah tangga bersifat sosial, bukan hukum
Posting Komentar untuk "3 Aturan di Jepang yang Masih Berlaku di 2025, Nomor 1 Bikin Perempuan Protes😱❗❗"